“…Segala akan lenyap, segala akan lenyap, Tuhanku
Kemudian Engkau pun tiba, menjemput sajak yang tak tersua…”

[Goenawan Mohamad, dalam Suatu Siang di buku Hari Terakhir Seorang Penyair]

Sering kali jika gelap datang, musim mengguyurkan hujannya di kota Lumpia, deras. Lalu suatu hari, Banyumanik berwajah kuyu. Ada sesuatu yang hilang darinya, meninggalkannya. Perempuan senja itu telah tutup usia. Ia meninggalakan anak rohani terakhir: Gunung Ungaran Lerep di Lerengnya Banyumanik di Kakinya, yang memberikan wejangan hidup manusia.

Buku itu memiliki aura, kata Goenawan Mohamad. Semacam daya, bukan fisik, yang memancar dari seseorang atau sebuah benda—yang karena sifat uniknya, ia terbit.

Bulan Agustus 2018, tak sengaja aku bertemu buku Gunung Ungaran di Gramedia Pandanaran, Semarang. Kubeli buku karangan Nh. Dini itu, juga karya Bre Redana dan Ariel Heryanto. Sebenarnya, aku tidak mempertimbangkan isi dari Gunung Ungaran. Aku hanya ingin membaca buku orang-orang tua. Bukankah para orang tua selalu memberikan hal yang kita tidak punya? Kita, generasi muda kalah pengalaman!

Dari awal aku membaca buku ini, ada perasaan yang berbeda. Begitu cepat perasaan itu terasa. Aku baru tersadar setelah Gusti menjemput Nh. Dini. Banyaknya status facebook di hari itu yang kubaca. “Karya Nh. Dini itu berbeda” tulis salah satu sastrawan di dinding akun Facebooknya.

Usai membaca buku autobiografi itu, aku mencatat alamat Nh. Dini. aku berencana menemuinya di Wisma Lansia Harapan Asri (WLHA) Banyumanik. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Belum sempat aku bertemu, Tuhan telah menjemputnya.
Ada tiga perempuan yang mewarnai dunia sastra tahun 1960-an: Nh. Dini, Toety Heraty dan Marianne Katoppo, begitu yang kutahu. Nh. Dini adalah salah satu feminis yang menyuarakan gagasannya melalui sastra. Begitu kata Prof. Toeti Heraty dalam orasi, tanggal 12 September 2018 dalam rangka ulang tahun ke-23 Jurnal Perempuan dengan tajuk Indonesian Women Literature. Nh. Dini masuk dalam periode ke tiga, setelah periode tahun 1911-1942 yang menyuarakan pendidikan, dan setelah periode Orde Baru, dengan semangat perempuan sebagai ibu dan juga istri.

Dalam buku Gunung Ungaran, aku tersentak pada pengakuan Nh. Dini dengan tepa selira-nya. Aku sering memberikan warna memakai stabilo pada kalimat-kalimat unik yang ia tulis. Saya melihat bahwa sosok Nh. Dini mampu menciptakan prinsip hidup sendiri, tidak menunggalkan sebuah agama menjadi pegangan.

“Aku tumbuh dibesarkan dalam keluarga Islam, namun meneguhi ajaran-ajaran Kejawen. Kehidupan nyata yang kami lihat dan kami hayati yang lebih ditekankan orang tua pada kami, bukan ‘promosi’ seribu macam pahala yang konon akan dihadiahkan Gusti Allah kelak di akhirat. Tepa selira atau tenggang rasa adalah pokok ajaran orangtua kepada kami. Kalau kau lapar, bagaimana rasanya? Jika kamu sakit, apakah kamu senang? Sebab itu, tolonglah lingkunganmu yang kelaparan atau kesakitan sesuai kemampuanmu” tulis Nh. Dini di bukunya, halaman nomer 6.

Pada awal pembacaan buku Nh. Dini ini, aku mendapati religusitas. Mulai dari keteguhan memegang ajaran Kejawen sampai ajaran Buddhisme. Berbeda dari ajaran Kejawen yang didapatkan dari orang tua, ajaran Buddhisme ia mengerti dari perjumpaannya dengan Bhante Pannavaro tahun 1996.

Nh. Dini menyebutkan kemelekatan adalah ajaran Buddhisme yang memiliki titik temu dengan ajaran Kejawen: wong urip iku mung mampir ngombe (orang hidup itu cuma mampir minum). Nh. Dini menulis:

“Maka tidak perlu memiliki hubungan (atau istilah yang digunakan adalah ‘melekat’) terlalu erat dengan ‘apa’ pun dengan ‘siapa’ pun” (halaman 16).

Dua prinsip hidup itu tercermin pada masa tua Nh. Dini. Ibaratnya meskipun dengan napas terengah dan langkah tertatih, Nh. Dini memutuskan hidup sendiri di tanah kelahirannya, Semarang. Sedangkan kedua anaknya, Padang dan Lintang menetap di luar negeri.

Nh. Dini yang menyebut Banyumanik sebagai kaki gunung Ungaran ini sebagai kekuatan menulis. Kegiatan sehari-harinya adalah menulis. Bagi saya sulit membayangkan hidup tenang di usia 80-an yang jauh dari anak, dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Terlebih kebiasaan mengkritik yang dimiliki tetap tajam. Misal sewaktu ia menghadiri acara di Joenju Korea Selatan tahun 2007, ia bercerita nasib baik wanita Indonesia yang biasa ke luar negeri pada tahun 2000-an, dengan alasan dapat bepergian tanpa surat izin suami atau warga. Jika meminta surat izin suami, negara sama saja menghina kaum perempuan yang diperlakukan seperti anak kecil yang belum dewasa.

Sebagai istri seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin, Nh. Dini tentu mengerti pola pekerjaan suami. Dalam novelnya itu Nh. Dini tak segan mengkritik kedutaan atas pengalamannya mengikuti pertemuan pengarang-pengarang Asia Afrika di Korea Selatan. Ia menyatakan:

“Bagiku, pengarang merupakan duta yang tepat untuk membangun hubungan atau komunikasi antar bangsa (halaman 85).”

Justru pertemuan seperti itu sangat penting di era serba canggih yang memungkinkan hanya mengandalkan komunikasi digital. Sebab dengan bertemu akan terjadi penyelaman budaya dan pola pikir sebagai dasar perdamaian yang sebenarnya.

Nh. Dini yang memiliki nama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu tutup usia pada tanggal 4 Desember 2018. Kepergiannya disusul oleh seorang mantan tahanan politik Orde Baru yang turut memberikan jasa terhadap dunia literasi meski tidak dengan menulis. Babe sapaan akrabnya. Ia meninggal pada tanggal 12 Desember 2018. Orang tua yang memiliki nama lengkap Eko Sutikno itu adalah orang baik yang menyelamatkan naskah Pramoedya Ananta Toer ketika sama-sama ditahan di Pulau Buru.

Sejujurnya, aku baru mendengar nama Babe tepat di hari kepulangannya. Tanpa pikir panjang, bersama tiga kawan dari Undip, Unnes, dan UIN Walisongo, kami menuju Kendal, kota sebelah barat Semarang. Meski sempat pesimis tidak dapat ikut penghormatan terakhir karena kemacetan lalu lintas pembangunan jalan tol di Mangkang. Akhirnya, Tuhan masih memberi kesempatan kami sampai Kendal sebelum pemakaman jenazah. Di sana, kami bertemu dengan Mas Kelana Siwi penyair Kendal yang datang bersama rombongan.

Sesekali Mas Kelana menanyakan keberadaan pegiat HAM Mas Yas (Yunantyo Adi Setyawan) yang tak kunjung sampai. Maklum, setahuku Mas Yas memang berperan terhadap perkembangan kasus 1965 di Semarang. Termasuk turut bekerjasama dengan mahasiswa dan para aktivis dalam penisanan kuburan massal korban 1965 di hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Mangkang, Kota Semarang.

Ketika kami sampai di rumah duka, jenazah sedang disalati. Aku berharap teman dari UNDIP yang aku sapa Mas Arga dapat menceritakan sesuatu. Karena kondisi sedang berduka, ia tunda untuk menceritakan sekarang. Satu hal yang dia sampaikan, “Babe orang yang santai dan enak diajak ngobrol.” Aku pun segera mengambil foto ketika jenazah akan diberangkatkan.

Anak-anak kecil yang sedang bermain turut menghibur suasana rumah duka. Mungkin di antaranya adalah cucu Babe. Sekitar pukul 22. 00 WIB, aku dan kawan perempuan berpamitan pulang terlebih dahulu. Entah saudaranya atau tidak yang sedang bergerombol ngobrol bertanya padaku: “Mbak tidak menunggu Mas Prio dulu?”—Mas Prio Adi adalah anak laki-laki Babe.

Saat aku hendak mengenakan helm, tiba-tiba ada seorang perempuan memanggil sambil tangan kanan-kirinya membawa sesuatu. “Mbak ini nasi dimakan ya! Jangan sungkan main ke sini lagi ya, Mbak, Meski Babe sudah tidak ada. Saya anak perempuan Babe, Mbak!” Sebenarnya memang ada nasi yang dibungkus daun pisang seperti diperuntukkan untuk orang-orang yang datang, tetapi aku tidak mengambil. Kupikir orang kampung memang begitu meskipun sedang kesusahan tetap saja memberi.

Usai natal, aku bertemu dengan kawan-kawan. Aku sempat menanyakan kepada Mas Sholekan, mahasiswa Unnes, yang beberapa kali bertemu Babe untuk menceritakan sosoknya. Dia menceritakan terkahir bertemu Babe bulan September 2018 di Kedai Kang Putu.

Babe selama di tahanan Pulau Buru, memiliki previlage karena punya kenalan dengan tentara di sana. Babe tak segan menyimpan makanan karena pada waktu itu masing-masing tahanan hanya dijatah 70 butir jagung dalam sehari. Atas hubungan baiknya dengan tantara itu, Babe memanfaatkan tempat tersembunyi untuk menyimpan naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer. Babe adalah orang ke dua yang membaca naskah milik Pram, setelah Pram.

Mas Sholekan juga menceritakan bagaimana hidup Babe yang penuh semangat setiap kali bercakap. Babe juga menyukai film. Setiap bertemu orang baru sering kali ia mengatakan, tamunya itu mirip pemain film ini dan itu. Ada juga yang bilang padaku via Whatsapp, “Babe itu jangan dikirim doa, Babe itu materialis konsekuen ndak percaya doa” begitu tulis senior yang akrab dipanggil Mas Gopang.

Baik Nh. Dini atau Babe, mereka berdua adalah orang tua yang merupakan bagian dari sejarah. Bagiku, ini adalah pembelajaran agar memanfaatkan waktu untuk menjalin komunikasi dengan orang tua sebelum Tuhan memanggilnya. Ya, Nh. Dini dan Babe memiliki peran pada masa 1960 –an. Kata orang bijak dalam sebuah buku yang saya lupa judulnya, “Jiika kita kehilangan orang tua itu sama artinya kita kehilangan buku sejarah.”

Alhilyatuz Zakiyah Fillaily, Penulis di LPM Justisia Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.