Beberapa tahun ini media sosial lebih terkesan menjadi media jejaring yang di dalamnya tumbuh subuh ujaran kebencian. Perdebatan politik yang lebih kepada cacian dari pada argumen rasional berbasis analisis dan data, adalah salah satu pemicunya. Yang demikian ini berbeda dengan awal kemunculan media sosial di Indonesia, yang menjadi ajang silaturahmi dan kangen-kangenan antar teman yang lama tak bertemu.

Di tengah-tengah ujaran menjamurnya ujaran kebencian, kata seorang teman, media sosial tetaplah memiliki sisi positif bagi beberapa orang yang berjejaring secara positif. Misalnya dari berjejaring di media sosial kita bisa berinteraksi dengan para tokoh seperti intelektual, budayawan, kiai/ulama, penulis, desainer dan lain sebagainya, sesuai kecenderungan kita.

Bagi teman penulis, yang punya kecenderungan, atau kadang-kadang menulis artikel atau kolom,ia mengaku sangat terbantu dengan jejaring di media sosial. Misalnya, ia dengan sangat mudah meminta koreksi tulisan kepada para ahlinya melalui tag di Facebook atau mention di Twitter. Mereka pun biasanya akan dengan senang hati memberikan respons.

Di media sosial, teman penulis yang juga suka baca buku itu, lebih mudah mengenal dan mendapatkan buku-buku bagus, dengan harga yang variatif. Katanya, ia juga bisa belajar dari status mereka yang sering kali secara serius membahas ilmu-ilmu baru atau lama yang belum diketahuinya, dengan bahasa yang tak terlalu berat.

Ia optimis, walaupun masih ada yang menyebar kebencian di media sosial, dengan memperbanyak lingkaran jejaring pengetahuan di media sosial, akan bisa turut mengkis ujaran kebencian.
Ia menyebut itu sebagai jejaring cinta. Katanya, kalau sedari awal orientasi bermedia sosial kita dengan cinta, kemungkinan terperangkap dengan jejaring kebencian sangat kecil.

Menurutnya, berjejaring dengan cinta ini bukan berarti tidak diperbolehkan melayangkan kritik atau memberikan masukan, misalnya terkait kebijakan pemerintah. Namun dengan orientasi cinta, kritik yang sampaikan melalui media sosial, akan berbentuk analisis data yang kuat, bukan asal memaki.

Untuk melengkapi cerita teman penulis di atas, penulis mengutip cerita yang ditulis Rijal Mumazziq dalam akun Facebooknya (10/10/2018), yang sepertinya relevan:

Suatu ketika, seorang pria sowan Buya Hamka. Dengan sinis, dia bercerita:

“Sungguh saya tidak menyangka, Buya, ternyata di Makkah itu ada pelacur, lho. Kok bisa ya Buya?”

“Ohya?”, sahut Buya Hamka. “Saya baru saja dari Los Angeles dan New York, dan masyaAllah, ternyata di sana tidak ada pelacur.”

“Ah, mustahil, Buya! Di Makkah saja ada kok. Pasti di Amerika jauh lebih banyak lagi!”

“Kita memang hanya akan dipertemukan, dengan apa-apa yang kita cari.” tukas Buya dengan senyumnya yang meneduhkan.

Di media sosial kurang lebih juga begitu. Jika kita dari awal mencari dan ingin nimbrung perdebatan yang penuh dengan ujaran kebencian, kita akan dapati itu. Pun demikian, jika yang kita cari adalah forum-forum dan lingkaran jejaring pengetahuan, kita menemuinya bukan?

Zaim Ahya, Founder takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.