Sebelum akhirnya memutuskan kuliah, sejak lulus MTs (Madrasah Tsanawiah, pendidikan setingkat SMP) aku tidak melanjutkan pendidikan formal di tingkat SMA, melainkan belajar di pesantren, lalu kuliah di Perguruan Tinggi. Maka maklum kalau kebingungan ketika mendapat tugas membuat makalah, karena sewaktu mondok, yang menjadi makanan sehari-hari adalah kitab kuning yang “gundul”, bukannya buku-buku atau jurnal-jurnal khas produk perguruan tinggi.

Jadi, “makalah itu makanan apa?” batinku. Bagaimana menyajikan gagasan dalam bentuk tulisan makalah? Bagaimana menulis catatan kaki? Bagaimana menyusun semuanya menjadi sebuah makalah?

Selama kira-kira dua bulan, aku cuma keluar-masuk perpustakaan dan toko buku, membolak-balik buku, dan mencoret-coret di kertas. Namun masih saja ragu, jangan-jangan coretan ini bukan makalah.

Sebenarnya tugas makalah itu dikerjakan berkelompok dengan satu teman yang menurutku lebih berpengalaman, tapi dia mendadak harus pergi ke sebuah acara di luar kota dan berada di sana sampai sehari sebelum presentasi.

Dua hari sebelum presentasi, makalah belum selesai ditulis, bahkan Pendahuluan pun baru ditulis separuh. Padahal otak sudah diperas dan segenap usaha dilakukan. Hingga siang itu, salah seorang teman membaca Pendahuluan yang belum selesai kutulis.

“Ini tulisan bagus,” komentarnya.

Aku pun terkejut, terlepas apakah penilaian itu memang benar –karena dia sudah berhasil buat makalah–atau hanya untuk menghiburku, namun lantaran pujian itu, kepercayaan diriku mendadak bangkit.

Aku lalu menyalin Pendahuluan yang kutulis tangan ke notebook warisan kakak yang lulus tahun lalu. Dengan berbagai referensi yang sudah ada, ditambah referensi dari perpustakaan yang kebetulan siang itu belum tutup, kuteruskan membuat makalah hingga hampir jadi, meskipun melelahkan karena aku harus mengetik huruf demi huruf dengan dua jari karena belum terbiasa mengetik di notebook.

Namun, ada satu masalah lagi, bagaimana cara membuat catatan kaki?

Aku ingat punya teman yang ikut kuliah program para guru, dan kebetulan hari itu dia ada jadwal kuliah.

“Satu masalah akan segera terpecahkan!” Batinku dengan wajah tersenyum, aku akan meminta bantuannya!

Sampai larut malam, makalah kukerjakan dengan bantuan teman tadi yang dengan sabar mengajariku cara membuat catatan kaki. Sampai jam setengah sepuluh, aku masih mengerjakan makalah tadi di masjid kampus, namun, karena sudah terlalu larut, kuputuskan untuk melanjutkannya besok karena aku harus pulang ke pondok.

Minggu pagi, aku sudah kembali berada di masjid kampus. Agendanya jelas: melanjutkan peperangan membuat makalah, meski kampus sepi dan hanya terlihat satu-dua orang melintas.

Kira-kira masuk waktu Zuhur, akhirnya makalah selesai juga kubuat. Aku pun bergegas menemui teman-teman untuk memastikan dengan sedikit memaksa mereka membaca makalah yang kubuat, dan bertanya pada mereka apakah tulisan itu sudah bisa dikatakan sebagai makalah?

Beruntung, mereka setuju mengatakan tulisan tadi sebagai makalah, dan aku bisa bernapas lega. Bagaimana tidak, baru sekali aku menulis makalah, dan berhasil menyelesaikannya dengan segala keterbatasan lewat bantuan teman-temanku. Bahkan akhirnya aku bersyukur terkait teman makalahku harus keluar kota. Kalau tidak, mungkin aku hanya akan mengandalkannya dan sampai seterusnya akan kesulitan membuat sendiri makalahku.

Hal-hal tak disangka berlanjut saat presentasi. Temanku yang keluar kota tadi tidak masuk karena ketiduran! Padahal baru sekali itu aku presentasi makalah dan sama sekali tidak membayangkan apa yang akan terjadi dan bagaimana komentar teman-teman sekelas, terutama dosenku, atas makalah yang pertama kali kubuat itu.

Alhamdulillah, presentasi berjalan lancar dan aku bisa menjawab beberapa pertanyaan teman, dan mendapat pujian dari dosenku, tanpa harus bulak balik buka makalah.

“Presentasimu bagus, bahkan lebih bagus daripada presentasi-presentasi sebelumnya,” Dosenku memuji.

Dalam hati, aku sangat bersyukur, kerja kerasku selama dua bulan, bahkan mengalami waktu-waktu yang sulit saking bingungnya membuat makalah terbayar sudah.

##

Suatu hari aku menginap di kos salah satu temanku. Malam itu kulihat temanku membuat makalah hanya semalam jadi. Aku bergumam dalam hati:

“Kok bisa ya, aku saja dua bulan, hampir gagal pula.”

Setelah aku memperhatikan temanku malam itu, aku mendapat jawaban: memang benar, makalah bisa ditulis seluruhnya, hanya satu malam.

Semenjak itu, aku yang masih terlihat grogi saat berpapasan dengan teman perempuan di kampus, bisa membuat makalah hanya semalam, bahkan hanya beberapa jam.

Mungkin, di era, di mana mayoritas mahasiswa sudah memiliki notebook dan smartphone sendiri, mereka hanya perlu beberapa detik membuat makalah. Mungkin hanya dua klik: copy lalu paste, atau malahan cukup satu klik: download!

Zaim Ahya, Founder takselesai.com

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.