Peristiwa dan perubahan dengan skala nasional dan global yang terjadi selama abad yang lalu telah membentuk dan memberikan arah dalam perkembangan diskursus teori dan pemikiran politik hingga masa kini. Barangkali dalam diskursus pemikiran politik kontemporer, kita akan memulainya dari masa tahun 1900-an sampai sekarang.

Hampir setengah abad pertama dalam kurun waktu 1900-1945, politik global didominasi oleh imperialisme, kolonialisme, dan fasisme yang dilakukan negara-negara utara (baca: Eropa) pada negara selatan (Asia, Afrika, Amerika Latin). Bangsa Eropa seperti Spanyol, Inggris, Belanda, Perancis, Italia, Jerman dan Belgia telah memulai penjajahan terhadap bangsa selatan sejak abad ke 17 dan terus melanggengkannya hingga awal abad 20. Imperialisme berjalan beriringan dengan kolonialisme, dimana bangsa penjajah kemudian tidak hanya melakukan penaklukan wilayah, tetapi juga berupaya mengirimkan warganya ke wilayah taklukan. Imperialisme mula-mula didorong oleh semangat 3G (Gold, Glory, dan Gospel), bermakna pencarian kesejahteraan, kejayaan, dan misi penyebaran agama.

Akan tetapi imperialisme berujung pada penindasan, pembantaian, dan eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam dan manusia wilayah jajahan. Kekayaan, kesejahteraan, dan kejayaan semuanya dirampas untuk dibawa ke eropa.

Imperialisme dan kolonialisme Eropa kemudian lambat laun mendapatkan perlawanan dari bangsa-bangsa terjajah lewat ideologi nasionalisme. Lahirnya tokoh-tokoh terdidik membawa dampak signifikan pada gerakan memperjuangkan kemerdekaan atas teritori yang dikuasasi penjajah. Konsep negara bangsa kemudian mulai diadaptasi pasca penjajahan, meski sebelumnya teritori-teritori tersebut masih berupa kerajaan-kerajaan atau kekuasaan lokal. Adanya musuh bersama barangkali menjadi pengikat perlawanan-perlawan setelah masa penindasan ratusan tahun.

Di fase awal abad 20, ideologi komunisme/sosialisme mulai berkembang dengan semangat perjuangan kelas proletar melawan kelas borjuis dan melawan kepemilikan individu pada alat produksi. Komunisme berpijak pada ajaran marxisme, tetapi kemudian mendapatkan pengaruh dari tokoh lain seperti Lenin, jadi komunisme merupakan gabungan dari marxisme dan leninisme. Komunisme menjadi antitesis dari kapitalisme yang mulai mendominasi politik global dengan semangat kepemilikan individu. Komunisme mengandaikan perubahan sosial yang harus dimulai dari gerakan partai buruh/pekerja. Komunisme pada awal abad 20 berkembang cukup pesat, terlebih pasca digelarnya Komunisme Internasional (Komintern). Pertemuan komunis internasional tersebut dihadiri oleh kelompok komunis sedunia termasuk dari Indonesia. Komintern menghasilkan komitmen untuk perluasan ideologi komunisme sekaligus mengobarkan semangat perlawanan pada imperialis.

Di Indonesia, pasca PKI (Partai Komunis Indonesia) di deklarasikan Mei 1920 melalui transformasi SI Merah Semarang oleh Semaun, Musso dan Sneevliet. Tokoh awal PKI kemudian mengorganisir kekuatan buruh untuk menggelar pemogokan buruh massal pertama. Perlawanan berikutnya dilakukan tokoh-tokoh komunis dalam pemberontakan November 1926 di Sumatera Barat dan Jawa Barat terhadap penjajah Belanda. Pemberontakan ini berujung pada pembunuhan ribuan pejuang dan penahanan 13.000 orang. 1.308 tokoh pemberontakan dipenjara di Bovel Digul Papua. PKI kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun 1927 dan selanjutnya gerakan komunisme di Indonesia berlangsung secara sembunyi-sembunyi (underground). Meski pemberontakan 1926 dianggap gagal, tetapi pemberontakan tersebut meninggalkan jejak perlawanan yang kemudian akan diikuti perlawan-perlawanan berikut secara masif di seluruh penjuru Indonesia.

Sementara di belahan bumi lain pada kurun 1920-1945 negara Jepang, Jerman, dan Italia yang menjadi kekuatan baru dunia lewat modernisasi dan industrialisasi besar-besar mencoba menunjukkan kekuatannya. Fasisme dan ultranasionalisme menjadi ideologi politik yang dijalankan oleh Hitler di Jerman, Musolini di Italia, dan Hirohito di Jepang. Ketiga pemimpin tersebut berpijak pada satu pemikiran yang sama, bahwa negara/bangsa mereka adalah pemimpin atas bangsa lain. Hitler misalnya menggunakan propaganda bahwa bangsa German adalah pewaris ras Arya yang merupakan ras unggul dan harus memimpin bangsa lain. Hitler bahkan menganjurkan gerakan anti semit (Yahudi) dengan upaya pengusiran dan pembantaian besar-besaran. Hitler pula yang kemudian menjadi pemicu perang dunia II dengan menganeksasi Polandia dan kemudian menguasai hampir separuh wilayah Eropa lewat kekuatan bersenjata.

Musolini di Italia membawa semangat fasisme dan ultranasionalisme lewat romantisme masa lalu pada kejayaan Imperium Romawi yang menguasai Eropa, Afrika Utara, dan Asia Tengah. Musolini kemudian menjadi bagian dari sekutu Jerman dalam perang dunia II. Sedangkan di Asia, Jepang yang belum lama muncul sebagai negara dengan kekuatan militer tangguh membawa slogan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Semangat tersebut melandasi era penjajahan Jepang yang dimulai dengan melakukan penaklukan Korea dan China kemudian disusul penyerangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik. Ketiga negara (Jerman, Italia, dan Jepang) yang tergabung dalam poros Axis pada awalnya unggul, sebelum kemudian dihancurkan poros sekutu pada tahun 1944-1945. Setelah periode itu, fasisme sebetulnya tetap berkembang justru di negara-negara baru merdeka lewat pemimpin yang totaliter dan militeristik.

Perang dunia II telah mengubah banyak hal, mulai dari doktrin militer, perkembangan teknologi, batas wilayah, hingga munculnya kekuatan adidaya baru.

Kemenangan sekutu kemudian menimbulkan konflik politik baru. Kubu sekutu kemudian terpecah menjadi dua yakni poros barat dipimpin Amerika Serikat dan poros timur dipimpin oleh Uni Soviet. Beberapa wilayah taklukan kemudian dibagi dua semisal Korea, Utara berpaham Komunis (ikut Uni Soviet) dan Selatan (Amerika Serikat). Begitupun di Jerman, wilayah Jerman dibagi menjadi Jerman Barat (Amerika Serikat) dan Jerman Timur (Uni Sovet). Persaingan dua negara adidaya tersebut membawa dampak ancaman global akan perang dunia ketiga. Blok Barat mengorganisir diri dengan mendirikan Pakta Pertahanan di Eropa (NATO), blok timur merespon dengan mendirikan Pakta Warsawa. Eropa kemudian terkena dampak pembelahan itu dengan Eropa Barat berhaluan liberalisme dan Eropa Timur berhaluan sosialisme.

Masa pasca perang dunia II membawa perang baru yang disebut sebagai masa Perang dingin (cold War). Terjadi perlombaan senjata nuklir, peningkatan kekuatan militer, persaingan ekonomi diantara blok barat dan timur. Intervensi blok barat dan timur misal membawa perang berkepanjangan di Korea dan Vietnam.

Konflik berskala Global tersebut menjadi salah satu sebab munculnya gerakan non blok yang salah satunya diprakarsai oleh Indonesia.

Gerakan non blok yang diawali Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 berupaya untuk mengajak negara Asia, Afrika dan Amerika latin untuk tidak turut serta dalam konflik Global. Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin justru harus berjuang mendukung kemerdekaan beberapa negara yang masih dijajah atau diintervensi negara asing. Kerjasama bidang politik dan ekonomi juga jadi salah satu tujuan dari gerakan non blok, agar dominasi blok barat dan blok timur dapat dibendung.

Awal tahun 1990, Uni Sovet sebagai salah satu kekuatan adidaya dunia mengalami masa perpecahan. Uni Soviet yang merupakan gabungan/federasi negara-negara dibubarkan karena kebijakan Glasnott dan Perestroika yang digagas Michael Gorbachev. Runtuhnya Uni Soviet oleh Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of History and The Last Man” digambarkan sebagai kemenangan kapitalisme dan liberalisme. Menurut Fukuyama, Kapitalisme dan Liberalisme akan menjadi ideologi terakhir yang dianut oleh semua negara karena menjadi pemenang dari pertarungan ideologi. Barangkali thesis Fukuyama benar, karena pasca runtuhnya Uni Soviet, negara-negara berhaluan komunis dan sosialis perlahan runtuh dan hanya meninggalkan Rusia, China, Kore Utara, Kuba, Vietnam dan sedikit negara di Amerika Latin.

Tetapi bisa jadi thesis Fukuyama juga berlebihan dan hanya menjadi alat propaganda demi hegemoni liberalisme atas bangsa-bangsa di Dunia.

Sekarang di masa yang disebut sebagai globalisasi, pertarungan ideologi politik dunia menjadi samar. China yang dulu dianggap sebagai negara penganut komunisme, nyatanya hari ini dalam sistem ekonomi justru memakai resep kapitalisme ala Den Xiaoping tetapi sistem politiknya masih menggunakan satu partai khas negara komunis. Globalisasi adalah peluang sekaligus tantangan, ia ibarat ombak besar bagi negara-negara yang tidak mampu beradaptasi pada perubahan ekonomi, budaya dan politik. Tetapi ia adalah gunung emas bagi negara yang telah bersiap diri dengan perkembangan teknologi, sumber daya manusia unggul. Globalisasi telah mengubah tatanan global sedemikian masif, ia memasuki wilayah negara sampai ke pelosok dan merusak tatanan sosial lokal. Globalisasi melindas siapa saja yang dianggap tidak mau menyesuaikan diri dengan perubahan dunia. Globalisasi mengimajinasikan diri bahwa dunia harus menjadi satu dibawah kekuasaan pundi-pundi “dollar”.

Abdul Ghofar, Pegiat Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Semarang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.