“Aku pusing,” begitulah kata seorang Yunani kuno bernama Theaetetus, pada suatu hari. “Itu permulaan filsafat,” komentar seorang Yunani kuno lain yang bernama Socrates.

Filsafat, seperti masuk angin, dimulai dengan pusing. Tapi berbeda dengan masuk angin, ia tak bisa stop. Setidaknya jika kita mengikuti Socrates – seorang tua bermuka buruk yang menghabiskan waktunya di tepi jalan untuk berdiskusi, di abad ke-4 sebelum Masehi. 2300 tahun yang lalu itu ia selalu nampak di pelataran orang ramai di Athena. Jubahnya itu-itu juga, dan ia bertelanjang kaki. Tapi sudah tentu ia bukan gelandangan.

Ia seorang bekas pejuang dalam perang melawan Sparta. Di waktu muda ia seorang pelajar filsafat. Ayahnya seorang pematung. Daripadanya Socrates mewarisi sebuah rumah. Ia bahkan juga punya uang yang diputarkan dalam bisnis oleh seorang sahabatnya.

Tapi nampaknya ia tak peduli dengan harta. “Betapa banyaknya barang di sana yang tak kuperlukan!” katanya ketika ia melihat aneka ragam jualan di pasar. Barangkali karena itu ia hidup tenang. Nasibnya memang tak buruk – untuk seorang yang kemudian mati dengan meminum racun.

Kenapa ia harus dihukum mati? Tuduhan resmi para penguasa baru di Athena ialah bahwa Socrates “tak mengakui dewa-dewa yang diakui negara”. Juga bahwa ia “merusak jiwa pemuda”.

Socrates sendiri, dalam pembelaannya, menyebut diri sebagai “sejenis lalat pengganggu”, yang “diberikan kepada negara oleh Tuhan”.

Tak berarti lalat itu harus disingkirkan. Baginya, negara justru memerlukan seekor lalat seperti itu. Negara adalah ibarat seekor sapi raksasa, “yang lamban geraknya karena ukurannya yang besar itu,” kata Socrates. Karena itu sang ternak memerlukan pengganggu, “agar digelitik jadi hidup”.

Sayangnya, para hakim tak peduli. Socrates pun sebenarnya juga tak peduli benar dengan kematiannya sendiri. Filosof tua itu toh merasa lebih baik mati ketimbang berangkat pikun pada umurnya yang mau lewat 70. Mereka yang takut mati, begitulah konon ia berkata, membayangkan dirinya mengetahui apa yang tak diketahui siapa pun juga.

Socrates, sebaliknya, adalah seorang yang tahu bahwa ia tidak tahu. Sebagai “lalat pengganggu” ia tak cuma menggelitik negara dan penguasa. Ia juga menggelitik rekan-rekannya, dan praktis tiap orang yang merasa sudah tahu jawaban atas persoalan hidup.

Hampir tiap hari ia bangun pagi. Ia datang ke pasar, atau ke gimnasium, ke bengkel, atau ke palaestra. Di sana ia memancing diskusi. Ia menyusuri keyakinan orang. Ia mengetuk konsep-konsepnya. Ia meminta definisi dari pengertian-pengertian yang umum, lalu – dengan tangkas – mengungkapkan kemencongannya. Ia mengiris-iris ucapan klise dengan logikanya. Ia melunturkan kesimpulan-kesimpulan yang nampak pasti dengan sorotan baru. Ia bertanya. Ia mempertanyakan.

Banyak orang jengkel. “Jika kau bertingkah begini di negeri lain,” ujar Meno, “kau bakal ditangkap.” Seorang yang lain berteriak: “Demi Zeus! Kau tak akan mendengar jawabanku sebelum kau sendiri menyatakan apa yang kau anggap sebagai keadilan!”

Socrates tak membantah. “Saya menulari orang dengan kebingungan yang ada dalam diri saya,” katanya. Paling jauh ia menyebut dirinya “bidan” – seperti ibunya. Ia sendiri tak mengandung dan melahirkan pikiran besar. Ia hanya membantu orang lain. Plato misalnya, murid yang setia itu, adalah penyusun sistem filsafat yang lebih berhasil.

Tapi adakah Socrates, yang tak pernah menuliskan pikirannya sepotong pun, dan tak pernah menghasilkan satu sistem pemikiran apa pun, hanya batang api-api permulaan yang kini butut? Tidak, juga untuk sekarang. Ketika orang ingin memberi jawab hampir mutlak yang serba tegas kepada penderitaan manusia. Socrates mengingatkan bahwa orang akan hanya tidur bila ia menutup dirinya sendiri dari lalat yang bertanya.

Goenawan Mohamad, dari Catatan Pinggir 2

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.